Wahai


:Kepada Pemuda

Wahai,
Elang-elang perkasa
Terbanglah tinggi
Tembuslah langit tak berbatas
Sibakkan mendung
Carikan cahaya penerang kehidupan

Wahai,
Elang-elang perkasa
Terbanglah tinggi
Sapakan angin dan hujan

Wahai elang-elang perkasa
Tapi janganlah lupakan bumi

Ingatlah bebatuan
Yang mengajarimu terbang
Ingatlah dahan-dahan
Yang melindungi benihmu
Ingatlah gemerisik ranting-ranting kering
Tempatmu membuat sarang
Dan melanjutkan kehidupan

Wahai Elang-elang perkasa
Cukupkan sejenak pengembaraanmu di langit
Turunlah dari bertengger di juntai kayangan

Wahai elang-elang perkasa
Bumi tak akan bisa tenang dan indah
Dengan hanya melihatnya dari atas angin

Surakarta, 25 Mei 2002

Cukupkan

Hentikanlah langkah,
Cukupkanlah kembara kehausan ini
Badan ini tak akan mampu menyangga
Semua yang diinginkan

Cukupkanlah permainan ini
Tak ada  lagi menang dan kalah
Bulu, tulang, kulit, dan otot
Bersatu untuk bisa terbang

Api dan air bersama-sama
Menumbuhkan pepohonan
Memekar bunga-bunga
Menebarkan harum alam raya

Air takkan berhenti mengalir
Air tak hanya mengaliri satu sungai

Cukupkanlah,
Karena apapun yang digenggam
Tak akan menemani kematianmu
Kecuali kaca dari perbuatanmu
Belatung dan cacing yang akan setia
Menemani hari-hari panjang
Hingga bumi dikembalikan pada asalnya

Solo, 7 April 2002

Menunggu Kehancuran

Kabut hitam itu semakin mengental
Percikan api bertebaran memekatkan
Mengembang menyambar rerumputan
Menghujam menembus ulu hati bumi
Kepulan asapnya menggulung
Bebatuah merah membara
Luka tanah kian menganga
Jahitan benangnya telah kusut
tersengat keserakahan
Mata air taklagi pancarkan kejernihan
Darah berlumuran di ujung pena
Angin menebarkan bau anyir
Bumi sekarat menunggu kematian
Tak lama lagi  setelah semuanya meledak

Solo, 3 April 2002

Pejamkan

Pejamkan mata sejenak
Rasakan belaian angin yang menyentuh kulit
Biarkan ia masuki pori-pori
Rasakan lembutnya
Semilir membisikkan kejujuran
Sejuk menggait kasih sayang
Datang tak henti-henti
Mengabarkan jeritan ilalang
Yang tersengat kegelapan
Tak hidup dan tak mati
Meregangkan air mata

Pejamkan mata sejenak
Untuk mendengar yang tertinggalkan

Pejamkan mata sejenak
Untuk katakan yang terdengar

Pejamkan mata sejenak
Untuk lakukan yang terkata

Solo,3 April 2002

Sabda Alam

:untuk yang menamakan diri pengabdi bangsa

Malam semakin larut rembulan tertutup kabut

Padahal bulan selalu purnama.

Kabut ini masih saja menyelimuti

Menggelapkan cahaya dan bintang-bintang di langit.

Tunas dan kuncup bunga menunduk layu

Daun-daun pucat tak tersapa cahaya

Akar-akar tak mampu menggeliat menebar kehidupan.


Kabut ini menggumpal dan menyembur

Pada mulut dan perut langit

Yang tak pernah mendengarkan belaian lembut angin

Telinga Rintih dan jerit batang-batang meregang.

Kabut ini masih saja perkasa

Meski badai bergulung membelah langit,

Halilintar mengamuk memecahi benteng,

Banjir bergemuruh di angkasa,

Dan Gunung-gunung melengking meledakkan dirinya.

Semua kini hanya tahu,

Bagaimana esok akan bernafas

Agar masih bisa berharap untuk menemu cahaya.

Semesta tak berdaya,

Langit semakin memanjakan dirinya,

Menulikan telinga, membisukan suara,

Dan membutakan mata.

Solo, 1 April 2002