Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

Memori Sebuah Sore

Sore itu berhias petir menggelegar
Kala sebuah kalimat terlontar menutup kisah
Dari sebuah cerita perjuangan panjang


Sore itu membuat aku menerawang langit


Aku tertegun
Awan hitam di pelupuk mataku pecah berantakan
Bertabrakan dengan awan hitam dari antah berantah


Dentumannya memancarkan cahaya benderang
Butiran gerimis rintik menyiram gurun tandus hati
Tetes-tetes air merayapi retakan asa


Sore itu petaka badar dalam semai jingga
Mendung gelap hilang seketika


Sore itu semai beranjak menguncup


Sore itu mengubah segalanya...


Akhir Januari 2005

Wahai


:Kepada Pemuda

Wahai,
Elang-elang perkasa
Terbanglah tinggi
Tembuslah langit tak berbatas
Sibakkan mendung
Carikan cahaya penerang kehidupan

Wahai,
Elang-elang perkasa
Terbanglah tinggi
Sapakan angin dan hujan

Wahai elang-elang perkasa
Tapi janganlah lupakan bumi

Ingatlah bebatuan
Yang mengajarimu terbang
Ingatlah dahan-dahan
Yang melindungi benihmu
Ingatlah gemerisik ranting-ranting kering
Tempatmu membuat sarang
Dan melanjutkan kehidupan

Wahai Elang-elang perkasa
Cukupkan sejenak pengembaraanmu di langit
Turunlah dari bertengger di juntai kayangan

Wahai elang-elang perkasa
Bumi tak akan bisa tenang dan indah
Dengan hanya melihatnya dari atas angin

Surakarta, 25 Mei 2002

Cukupkan

Hentikanlah langkah,
Cukupkanlah kembara kehausan ini
Badan ini tak akan mampu menyangga
Semua yang diinginkan

Cukupkanlah permainan ini
Tak ada  lagi menang dan kalah
Bulu, tulang, kulit, dan otot
Bersatu untuk bisa terbang

Api dan air bersama-sama
Menumbuhkan pepohonan
Memekar bunga-bunga
Menebarkan harum alam raya

Air takkan berhenti mengalir
Air tak hanya mengaliri satu sungai

Cukupkanlah,
Karena apapun yang digenggam
Tak akan menemani kematianmu
Kecuali kaca dari perbuatanmu
Belatung dan cacing yang akan setia
Menemani hari-hari panjang
Hingga bumi dikembalikan pada asalnya

Solo, 7 April 2002

Menunggu Kehancuran

Kabut hitam itu semakin mengental
Percikan api bertebaran memekatkan
Mengembang menyambar rerumputan
Menghujam menembus ulu hati bumi
Kepulan asapnya menggulung
Bebatuah merah membara
Luka tanah kian menganga
Jahitan benangnya telah kusut
tersengat keserakahan
Mata air taklagi pancarkan kejernihan
Darah berlumuran di ujung pena
Angin menebarkan bau anyir
Bumi sekarat menunggu kematian
Tak lama lagi  setelah semuanya meledak

Solo, 3 April 2002